BOMINDONESIA.COM, MADINAH –Masjid Nabawi penuh sesak. Kaum Muslimin berkumpul, masih dalam duka setelah wafatnya Rasulullah. Tapi hari itu, mereka datang bukan hanya untuk berduka, melainkan menyaksikan awal kepemimpinan baru.
Di depan, Abu Bakar berdiri. Wajahnya tegas, tapi tak ada kesombongan. Ia tidak berdiri sebagai penguasa, melainkan seseorang yang diberi amanah besar. Suasana hening saat ia mulai berbicara.
Ia tidak menganggap dirinya yang terbaik. Jika ia benar, ia berharap didukung. Jika ia keliru, ia ingin diluruskan. Kejujuran adalah amanah, kebohongan adalah pengkhianatan. Yang lemah harus mendapatkan haknya, yang kuat tidak boleh semena-mena. Jika umat meninggalkan jihad, kehinaan akan datang. Jika keburukan dibiarkan, musibah akan menimpa semua.
Kata-katanya sederhana, tapi penuh makna. Tidak ada janji muluk, hanya tanggung jawab. Di akhir, ia menegaskan, selama ia taat kepada Allah dan Rasul-Nya, umat wajib menaatinya. Jika ia menyimpang, tidak ada kewajiban untuk mengikutinya.
Hari itu, umat tidak hanya memiliki seorang khalifah, tapi juga pemimpin yang paham bahwa kekuasaan bukan untuk dibanggakan, melainkan untuk dijaga.
Kekhilafahan Abu Bakar
Rasulullah s.a.w. meninggal dunia tanpa menentukan secara khusus siapa pengganti beliau. Namun, ada beberapa isyarat dari Rasulullah yang dapat dipahami oleh orang yang mengerahkan kemampuan berpikirnya secara maksimal.
Yang dimaksudkan dalam semua isyarat Rasul itu adalah Abu Bakar ash-Shiddiq, dan bahwa dialah calon pemegang khilafah sepeninggal beliau.
Di antara isyarat itu adalah:
Abu Bakar lelaki pertama yang beriman kepada Rasulullah s.a.w. Abu Bakar adalah teman satu-satunya bagi Rasul saat berada dalam gua dan saat berhijrah dari Mekah ke Madinah.
Abu Bakar menjadi Amir al-Hajj pada tahun 9 H. Abu Bakar menjadi imam shalat bila Rasulullah s.a.w. datang terlambat begitu pula saat Nabi sedang sakit menjelang kewafatannya.
Rasulullah s.a.w. bersabda sebelum beliau meninggal, “Tutuplah untukku semua pintu-pintu kecil ini, kecuali pintu Abu Bakar.
Rasul juga bersabda, “Sesungguhnya orang yang paling memberikan keamanan bagiku dalam persahabatan dan hartanya adalah Abu Bakar. Seandainya aku boleh menjadikan khalil (kekasih atau teman dekat) selain Tuhanku, maka aku akan menjadikan Abu Bakar sebagai teman. Namun, ia adalah saudara dan cintaku dalam Islam.”
Selain itu, Rasul s.a.w bersabda, sebagaimana disebutkan dalam hadis Jabir ibn Muth’im yang meriwayatkan bahwa ada seorang perempuan menemui Nabi. Ia lalu diperintahkan untuk kembali menemui Nabi di waktu lain. Perempuan itu bertanya, “Apa pendapatmu jika aku datang dan tidak mendapatimu?
Perempuan ini seolah mengatakan bagaimana jika Rasulullah sudah meninggal dunia. Nabi s.a.w. menjawab, “Jika engkau tidak mendapatiku maka temuilah Abu Bakar.” (HR. Bukhari, Muslim, dan Tirmidzi).
Nabi juga pernah bersabda, “Allah dan kaum Muslimin membiarkannya kecuali pada Abu Bakar.”
Abu Darda’ r.a. menceritakan bahwa suatu ketika ia duduk bersama Nabi s.a.w. saat Abu Bakar datang sambil menjinjing ujung bajunya sampai terlihat kedua lututnya. Nabi pun bersabda, “Sahabat kalian itu sedang kebanjiran.”
Abu Bakar lantas mengucapkan salam dan berkata, “Wahai Rasulullah, antara diriku dan Umar ibn Khaththab ada suatu persoalan. Aku segera menemuinya dan menyesali sikapku terhadapnya. Aku minta agar ia memaafkanku, namun ia menolak. Maka sekarang aku menghadap padamu.”
Nabi menjawab, “Allah mengampunimu, wahai Abu Bakar.” Nabi mengucapkan hal itu sebanyak tiga kali.
Disebutkan bahwa kemudian Umar juga menyesal. Ia pergi ke rumah Abu Bakar dan bertanya, “Apakah Abu Bakar ada?”
Mereka menjawab, “Tidak ada.”
Umar lalu pergi menemui Nabi. Raut wajah Nabi menjadi berubah karena marah, sampai Abu Bakar berlutut dan mengatakan, “Wahai Rasulullah, akulah yang menzaliminya.” Ia mengucapkannya sebanyak dua kali.
Nabi s.a.w. bersabda, “Sesungguhnya Allah mengutusku pada kalian lalu kalian berkata, ‘Engkau berbohong.’ Sedang Abu Bakar berkata, ‘Ia benar.’ Ia telah membantuku dengan jiwa dan hartanya. Apakah kalian akan meninggalkan sahabatku?” Nabi sampai mengulang ucapan itu sebanyak dua kali. Sejak saat itu Abu Bakar tidak pernah disakiti lagi. (HR. Bukhari).
Hadis Amr ibn Ash juga menyebutkan saat Nabi Muhammad s.a.w. mengutusnya menjadi pemimpin pasukan Dzât as-Salâsil. Ia mengisahkan, aku datang menemui Nabi, lalu aku menanyakan pada beliau, “Siapakah orang yang paling engkau cintai?”
Rasul menjawab, “Aisyah.”
“Dari kalangan lelaki?”
Nabi menjawab, “Ayahnya.”
Aku tanya kembali, “Kemudian siapa?”
Nabi menjawab, “Umar ibn Khaththab.”
Lalu beliau menyebut beberapa orang lagi. (HR. Bukhari dan Muslim).
Rasulullah meninggal dunia dengan tidak menunjuk khalifah sepeninggal beliau. Umat Islam kemudian berbeda pendapat tentang siapa yang akan menggantikannya.
Kaum Anshar berkumpul di Saqifah Bani Sa’idah. Mereka menilai, merekalah yang lebih berhak memegang khilafah, karena mereka adalah Anshar atau penolong Rasulullah s.a.w.
Mereka juga merasa termasuk kalangan yang lebih dulu memeluk Islam. Mereka juga punya peran dalam menyambut kaum Muhajirin dan memberikan bantuan materi pada mereka.
Kaum Anshar juga memiliki alasan, mereka selalu ikut berjihad bersama Rasulullah s.a.w. Pendapat ini diusung oleh Sa’ad ibn Ubaidah dan Hubab ibn Mundzir r.a.
Tak hanya kalangan Anshar, Bani Hasyim juga menganggap mereka lebih berhak memegang jabatan khilafah. Alasannya, mereka adalah kerabat Rasulullah s.a.w. Karena itulah mereka mencalonkan Ali ibn Abi Thalib.
Sedangkan kebanyakan kaum Muhajirin berpendapat, khilafah harus dipegang kaum Quraisy secara umum, tanpa melihat apakah ia berasal dari Bani Hasyim atau kaum Quraisy lainnya.
Setelah terjadi pro-kontra dan perdebatan, akhirnya yang diunggulkan adalah pendapat kaum Muhajirin bahwa kepemimpinan khilafah akan diserahkan kepada Abu Bakar ash-Shiddiq r.a.
Setelah menyebutkan keutamaan Anshar dan bahwa mereka lebih dulu memeluk Islam serta cobaan yang harus mereka hadapi karena memeluk agama Muhammad, Abu Bakar mengatakan, “Wahai kaum Anshar, sesungguhnya Bangsa Arab tidak mau tunduk dalam persoalan kekhalifahan ini kecuali kepada kaum Quraisy. Dan aku telah memilih untuk kalian salah satu dari dua orang ini: Umar ibn Khaththab atau Abu Ubaidah ibn Jarrah.”
Saat itulah Umar mengatakan, “Bentangkan tanganmu wahai Abu Bakar, kami akan membaiatmu. Rasulullah telah ridha padamu untuk urusan agama kami, apakah kami tidak ridha denganmu untuk urusan dunia kami?”
Umar dan umat Islam pun membaiat Abu Bakar ash-Shiddiq. Pembaiatan ini berlangsung di Saqifah Bani Sa’idah, dan dinamakan Bai’at Sughra (Baiat Kecil). Keesokan harinya, umat Islam membaiat Abu Bakar lagi di Masjid Nabawi. Baiat kedua ini dinamakan Bai’at Kubra (Baiat Besar).
Usai pembaiatan, Abu Bakar ash-Shiddiq berkhutbah di hadapan umat Islam. Ia menerangkan politiknya dalam pemerintahan, menjelaskan sikapnya untuk selalu berpegang teguh pada ajaran agama, tentang penghormatannya terhadap musyawarah, serta upayanya untuk selalu mengikuti jejak Rasulullah s.a.w.“Wahai sekalian manusia, aku kini memimpin kalian dan aku bukanlah orang yang paling baik di antara kalian. Jika aku berlaku baik, bantulah aku. Jika aku berlaku buruk, luruskanlah aku. Kejujuran adalah amanah, sedang kebohongan adalah khianat. Orang lemah di antara kalian itu kuat di sisiku, sampai aku menyerahkan haknya.
Orang kuat di antara kalian itu lemah di sisiku, sampai aku mengambil hak darinya insya Allah. Satu kaum yang meninggalkan jihad di jalan Allah maka Allah akan merendahkan mereka. Tidak akan tersebar suatu kekejian di suatu kaum, kecuali Allah akan menurunkan musibah secara merata.
Taatlah kalian kepadaku selagi aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika aku bermaksiat pada Allah dan Rasul-Nya maka kalian tidak wajib menaatiku.
Editor : Mercurius
Sumber Berita: Sumber X @mybxpress