BOMINDONESIA.COM, JAKARTA – Di tengah upaya normalisasi hubungan antara Arab Saudi dan Israel, Putra Mahkota Pangeran Mohammed bin Salman (MBS) mengungkapkan bahwa dirinya secara pribadi tidak peduli dengan isu Palestina.
Hal itu terungkap dalam laporan khas The Atlantic yang dirilis pada 25 September 2024. Tulisan panjang dari media asal Amerika Serikat (AS) tersebut mengungkapkan pasang surut upaya normalisasi hubungan Saudi-Israel hingga posisi Palestina sebagai bagian dari kesepakatan.
Rencana pembentukan negara Palestina, yang diakui oleh seluruh dunia, merupakan bagian dari kesepakatan besar yang akan membuka jalan bagi normalisasi hubungan diplomatik antara Arab Saudi dan Israel.
Kesepakatan tersebut, tulis Atlantic, yang juga mencakup dukungan AS dalam membangun program tenaga nuklir sipil untuk Saudi, serta komitmen Saudi terhadap dominasi dolar AS, menjadi titik penting dalam upaya diplomasi kedua negara.
Dalam kesepakatan ini, normalisasi hubungan dengan Israel akan terjadi dengan syarat utama, yakni pembentukan negara Palestina.
Menurut Atlantic, berdasarkan keterangan Koordinator Gedung Putih untuk Timur Tengah dan dan Afrika Utara Brett McGurk, para pejabat Saudi, termasuk ahli yang ditugaskan untuk merancang ulang infrastruktur Palestina, bekerja keras untuk memastikan rencana ini mencakup berbagai sektor, termasuk kelistrikan dan sistem kesejahteraan sosial.
Selain itu, ada tekanan agar Otoritas Palestina di Tepi Barat memperbaiki tata kelola dan memberantas korupsi di tubuh administrasinya. Sementara itu, Pangeran MBS, yang dikenal sebagai penguasa de facto kerajaan, memainkan peran kunci dalam negosiasi ini.
MBS menyatakan bahwa pemerintahan Presiden Joe Biden memberikan peluang terbaik untuk mencapai rencana ambisius tersebut.”Dua pertiga dari Senat harus menyetujui perjanjian pertahanan Saudi-AS, dan saya yakin ini hanya bisa terjadi di bawah pemerintahan Demokrat,” ujar MBS.
Dia menambahkan bahwa pembentukan negara Palestina menjadi elemen penting untuk memenangkan dukungan suara progresif di Senat.
Namun, dia menilai tantangan terbesar dalam kesepakatan ini adalah situasi di Gaza. MBS menekankan pentingnya kestabilan di wilayah tersebut, dan menyatakan bahwa masyarakat Saudi, terutama generasi muda, mulai menyadari pentingnya isu Palestina.”70 persen dari populasi saya lebih muda dari saya,” kata penguasa berusia 38 tahun itu, menyoroti bahwa banyak di antara mereka yang baru pertama kali diperkenalkan dengan isu Palestina melalui konflik yang sedang berlangsung, sebagaimana ditulis Atlantic.”Apakah saya secara pribadi peduli dengan isu Palestina? Tidak, tetapi rakyat saya peduli, jadi saya harus memastikan bahwa hal ini bermakna,” lanjutnya.
Adapun pemerintah Saudi menyatakan kutipan percakapan tersebut tak akurat. MBS juga berbicara tentang risiko pribadi yang dia hadapi dalam mengejar kesepakatan ini.
Dia mengungkapkan kekhawatirannya terhadap nasib yang menimpa Presiden Mesir Anwar Sadat, yang dibunuh setelah menandatangani perjanjian damai dengan Israel.”Setengah dari penasihat saya mengatakan kesepakatan ini tidak sebanding dengan risikonya. Saya bisa berakhir terbunuh karena kesepakatan ini,” kata MBS.
Meskipun kesepakatan ini menawarkan prospek besar bagi stabilitas kawasan dan kemajuan diplomatik, banyak tantangan yang masih harus diatasi.
Keberhasilan kesepakatan ini tidak hanya bergantung pada komitmen AS dan Saudi, tetapi juga pada kemampuan untuk mencapai kesepakatan yang dapat diterima oleh Palestina dan mengatasi ancaman-ancaman internal serta eksternal yang mungkin muncul.
Sikap Kerajaan
Dalam berbagai kesempatan, pihak Saudi telah menyatakan dukungannya untuk negara Palestina yang merdeka. Dalam laporan AFP pekan lalu, MBS mengungkapkan Riyadh tidak akan menjalin hubungan dengan Israel sampai negara Palestina terbentuk.
Pihaknya juga mengecam aksi-aksi Israel yang masih terus melakukan penindasan terhadap warga Palestina.”Kami memperbarui penolakan dan kecaman keras kerajaan atas kejahatan otoritas pendudukan Israel terhadap rakyat Palestina,” kata MBS dalam sesi pembukaan Dewan Syura penasihatnya.”Kerajaan tidak akan menghentikan upayanya yang tak kenal lelah untuk mendirikan negara Palestina yang merdeka dengan Yerusalem timur sebagai ibu kotanya, dan kami menegaskan bahwa kerajaan tidak akan menjalin hubungan diplomatik dengan Israel tanpa negara Palestina,” tambahnya.
Normalisasi hubungan diplomatik antara negara-negara Arab Muslim dengan Israel terjadi pada tahun 2020 lalu telah mengakhiri konsensus Arab yang telah lama ada bahwa tidak boleh ada normalisasi tanpa negara Palestina. Sejumlah negara Arab yang telah menjalin hubungan dengan Tel Aviv yakni Bahrain serta Uni Emirat Arab (UEA).
Namun posisi Saudi yang menjadi patron Timur Tengah juga disorot. AS, yang merupakan sekutu Israel dan motor normalisasi ini, terus mengatakan bahwa Riyadh akan menjalin hubungan dengan Negeri Zionis itu.
Pada awal bulan ini, Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken telah melontarkan prospek pembentukan hubungan yang cepat dengan Arab Saudi sebagai potensi keuntungan bagi Israel dari kesepakatan gencatan senjata dan pembebasan sandera untuk Gaza.
Blinken telah menyebut ia berharap agar normalisasi antara Israel dan Arab Saudi terjadi sebelum masa jabatan Presiden Joe Biden selesai pada Januari mendatang
“Saya pikir jika kita bisa mendapatkan gencatan senjata di Gaza, masih ada peluang melalui keseimbangan pemerintahan ini untuk bergerak maju dalam normalisasi,” kata diplomat tinggi AS tersebut.
Blinken juga mengatakan AS telah menyiapkan paket keamanan untuk ditawarkan kepada Arab Saudi jika negara itu menormalisasi hubungan dengan Israel. Ini merupakan upaya Washington itu mencari insentif bagi Israel untuk mendukung negara Palestina.
Namun sebagai bagian dari kesepakatan, Riyadh juga diharapkan untuk bersikeras pada jalur menuju kenegaraan bagi Palestina serta jaminan keamanan bergaya aliansi dari Washington.”Untuk melanjutkan normalisasi, diperlukan dua hal, ketenangan di Gaza dan jalur yang kredibel menuju negara Palestina,” kata Blinken dalam pertemuan Forum Ekonomi Dunia di Riyadh.
Namun, pemerintahan sayap kanan Israel pimpinan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu tetap menentang keras negara Palestina. Tingginya jumlah korban tewas dan kerusakan yang luas di Gaza jua telah memberikan tekanan besar pada Arab Saudi untuk menahan diri dari pembukaan diplomatik besar apapun.
Editor : Mercurius