Oleh : DR Yanuaris Frans M, SH MH
(Praktisi Hukum )
Opini hukum ini diperuntukan sebagai penyeimbang atas berbagai pendapat hukum berbagai pihak, terkait penetapan “Paman Birin” sebagai “tersangka” gratifikasi. Opini hukum ini pula mengusung cara berpikir “presumption of Innocence,” yaitu mendudukan “Paman Birin” menurut Pasal 8 ayat (1) UU. Kehakiman, wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan ingkrah dari pengadilan, karena dalam kasus OTT kedudukan hukum “Paman Birin” adalah “diduga,” karena masih “diduga” pasti suatu “dugaan” memiliki potensi “bisa benar sekaligus bisa salah prasangka,”
Artinya pengadilan-pun bisa mengatakan “dugaan” KPK terhadap “Paman Birin” dalam Kasus “gratifikasi” dinyatakan “terbukti” ataupun “tidak terbukti,” termasuk pula lembaga “Praperadilan” yang akan digelar tanggal 28 Oktober 2024, dapat menyatakan penetapan status “Paman Birin” sebagai “tersangka” “sah menurut hukum” atau sebaliknya “tidak sah” maka “batal demi hukum.”
Asas hukum pidana “praduga tidak bersalah” ini menguatkan sikap untuk bersikap “husnuzzan bukan suuzhon,” perilaku ini penting agar kita terbebas dari segala pikiran jahat yang cenderung menjadi “ghibah,” yaitu menuduh tanpa memiliki berkemampuan untuk membuktikannya karena kita bukanlah hakim.
Agama manapun mengajarkan hal itu kepada umatnya, maka ber-tabayyun melihat persoalan ini adalah pilihan yang tepat bagi umat beragama, bukan malah sebagaimana dipertunjukan sebagian kecil masyarakat, yang memberitakan kabar bahkan mem-framing seolah-olah “Paman Birin” melarikan diri, menghilang, DPO KPK dan lainnya dengan melupakan “etika budaya masyarakat banjar” yang santun, yang faktanya: ▪ “Paman Birin” masih menjalankan aktivitas biasanya karena statusnya masih “diduga” dan bukan DPO KPK.
▪ “Paman Birin” adalah Gubernur Provinsi Kalsel dan belum ada diganti oleh siapapun menurut hukum. Menuduh tanpa mampu mendalilkan kebenarannya itu maka kita dimungkinkan, akan menghadapi Pasal 434 ayat (1) UU 11/2023 juncto Pasal 28 juncto Pasal 45A UU 1/2024 juncto Pasal 311 KUHP, dengan sebutan sebagai “tukang dfitnah” atau “penyebar hoax,”
Selain bermasalah dengan hukum kitapun akan bermasalah dengan kearifan masyarakat sekitarnya, sekaligus memiliki konsekuensi keagamaan bagi pemeluknya. Opini hukum ini mengusung prinsif “da mihi factum, dabo tibi ius” dengan ungkapan “berikan saya faktanya, saya akan berikan hukumnya,”maka tulisan ini didasarkan fakta-fakta dari berbagai pernyataan KPK, maupun pemberitaan terkait OTT yang dapat diverifikasi kebenarannya, karena hanya berasal dari dua hal itu tentu opini ini tidak sempurna adanya, tetapi hanya mendekatinya saja.
Fakta hukumnya, diketahui: Bahwa pada minggu 6 Oktober 2024, KPK melakukan OTT di wilayah Provinsi Kalsel dan terjaring enam orang tersangka, kemudian mereka langsung di bawa ke Gedung Merah Putih Jakarta untuk ditahan.
Mulai dari sinilah bermunculan pemberitaan-pemberitaan tendensius terhadap “Paman Birin,” dilakukan secara frontal dengan berbagai konten kreator yang cenderung kotor, karena berbalut nuansa politis menyerang pencitraan “Acil Odah” dalam Pilgub Kalsel 2024.
Bahwa ditemukan dalam OTT itu uang Rp. 1 milyar dan total sekitar Rp. 22 milyar dari hasil pengembangan, yang seolah-olah “Paman Birin” menerima gratifikasi sebesar, padahal: – Faktanya, uang Rp. 1 milyar didapatkan penyidik KPK dalam OTT tidak berada dalam penguasaan “Paman Birin,” tetapi ditangan para tersangka lainnya, yang “kata” KPK uang itu “diduga” untuk “Paman Birin.”
Dalam kasus ini, dimungkinkan saja pengambilan ataupun pengumpulan dana dari para pengusaha itu, adalah inisiatif para tersangka sendiri diluar sepengetahuan “Paman Birin,”
Tentu potensi itu dapat dimungkinkan terjadi berdasarkan “asas praduga tidak bersalah,” namun hendaknya dibuktikan terlebih dahulu di muka pengadilan dalam perspektif hukum pidana nasional.
Faktanya, dari pengembangan OTT itu, KPK menyita uang sebesar kurang lebih Rp. 12 milyar dari para tersangka, KPK “menduga” uang¬itu adalah fee dari “Proyek Dinas PUPR,” yang diantaranya diperuntukan untuk “Paman Birin” sebesar 5%, tetapi uang-uang inipun masih dalam penguasaan para tersangka lainnya, dan tidak pula ada jejak yang membuktikan uang itu akan diberikan kepada “Paman Birin,”
Maka masih dapat dimungkinkan bahwa pembagian uang proyek PUPR itu, adalah inisiatif para tersangka sendiri tanpa sepengetahuan “Paman Birin,” Maka situasi ini haruslah dimaknai masih bersifat rencana dari para tersangka belaka, tentu pemikiran ini haruslah dibuktikan kebenaran logikanya di muka pengadilan terlebih dahulu dari perspektif hukum pidana nasional.
Hal yang terlihat tidak profesionalnya KPK dalam penegakan hukum ini adalah bahwa jika mereka menyakini “dugaannya” itu benar, maka kenapa tidak bersabar untuk menunggu hingga aliran uang-uang itu terpantau, ataupun hingga uangnya diserahkan kepada “Paman Birin” baru lakukan OTT, karena ini akan lebih sahih adanya dari pada mengandalkan “konsep pengembangan perkara.”
Bahwa kemudian pada Selasa tanggal 8 Oktober 2024 KPK melaksanakan konsprensi pers di Gedung KPK terkait OTT KPK di Kalsel, setelah dicermati dari kata perkata hingga keseluruhan perkataan KPK, tidak ada ditemukan pernyataan yang menyatakan “SHB” sebagai “tersangka” dalam OTT KPK dimaksud.
Kemudian pada Kamis (10/10/2024) Jubir KPK menerangkan KPK telah melakukan pencekalan terhadap “SN” ke luar negeri,” dalam hal inipun KPK tidak menyebutkan secara implisit “SN” adalah “tersangka,” maka bagi penganut positivism status “Paman Birin” hanyalah “diduga” terseret dalam kasus gratifikasi.
Terlebih lagi pengetahuannya tentang Putusan Mahkamah Konstitusi RI. No. 21/PUU-XII/2014, maka kita menganggap berita-berita yang menyatakan “Paman Birin” adalah “tersangka” sebuah hoax ataukah “abouse of power.”
Kami “menduga” ada kegamangan KPK dalam menetapkan “Paman Birin” sebagai “tersangka,” Hal itu dimungkinkan belum ada bukti absolut yang mampu mengarah pada keterlibatan “Paman Birin,”
Dibuktikan hari-hari selanjutnya KPK masih melakukan penggeledahan di ruangan kantor Gubernur Provinsi Kalsel di Banjarbaru, Rumdin di Banjarmasin hingga kediaman pribadi “Paman Birin” di Martapura. Ini menunjukan KPK masih memerlukan bukti-bukti tambahan yang memadai, dalam mentersangkakan “Paman Birin” terkait kasus OTT dimaksud.
Mestinya KPK tidak tergesa-gesa dalam menetapkan “Paman Birin” sebagai “tersangka,” terlebih lagi dalam penindakan perkara ini menggunakan “Konsep OTT.”
Seperti dijelaskan Direktur Penindakan KPK Brigjen Pol. Asep Guntur, bahwa dalam OTT itu “Paman Birin” tidak ada di TKP, KPK dalam hal ini hanya “menduga” uang itu untuk “Paman Birin” melalui perantaranya, maka penetapan “Paman Birin” sebagai “tersangka” melalui “konsep OTT” cenderung mendasarkan pada keterangan atau “katanya” para “tersangka,” sedangkan barang bukti yang disita oleh KPK belum tentu juga memiliki hubungan dengan “Paman Birin,” dan perlu dibuktikan kebenarannya terlebih dahulu dimuka pengadilan.
Selanjutnya kita mempertanyakan pertanyaan hukumnya terkait penetapan “Paman Birin” sebagai “tersangka” oleh KPK, yaitu:
1. Apakah KPK menghormati asas “presumption of Innocence“ dalam perkara gratifikasi ini?
2. Apakah penetapan “Paman Birin sebagai “tersangka” oleh KPK, telah memenuhi syarat hukum pidana formil dan tunduk pada prinsif-prinsif “due procces of law”?
3. Apakah tindakan “Paman Birin” mengajukan “Praperadilan” adalah tindakan yang benar sebagai warga negara Indonesia yang baik? Jawaban hukum:
Menjawab menjawab pertanyaan nomor satu diatas. Kita berharap penetapan “Paman Birin” sebagai “tersangka,” telah dipertimbangkan secara benar oleh KPK menurut hukum pidana formil.
Hal ini perlu ditekankan dikarenakan segala tindakan yang dilakukan oleh “criminal justice system,” erat kaitannya dengan hak asasi seorang warga negara, sebagaimana diisyaratkan Magna Charta sebagai rujukan filosofis maupun UUD 1945 sebagai dasar hukum positif.
Maka kehati¬hatian ini perlu diperhatikan agar tidak bermakna “abuse of power,” dalam menggunakan UU. No. 19/2019, karena dengan menetapkannya sebagai tersangka hal itu akan mengurangi hak asasi “Paman Birin,” seperti tidak dapat bepergian keluar negeri salah satunya.
Diskursus ini perlu diketengahkan karena berkaitan langsung dengan UU. No. 39/1999 tentang HAM, maka untuk melindungi hak-hak itu dikenal asas “legalitas.” Hal yang perlu diapresiasi adalah bahwa KPK: Tidak secara lugas mengatakan “Paman Birin” sebagai “tersangka,” tetapi cenderung menggunakan diksi “diduga.” (BOMINDONESIA.COM)
Editor : Mercurius