BOMINDONESIA.COM, BANJARMASIN – Gerakan 30 September atau yang dikenal G30S tahun 1965 menyimpan sejarah kelam di Indonesia. Gerakan yang memakan ratusan ribu korban jiwa inipun dianggap zalim, karena banyak korban yang tak bersalah, terseret tanpa hukum yang jelas.
Pro dan kontra gerakan G30S pun hingga sekarang ini masih terjadi. Itu pun terbuka saat lengsernya pemerintahan Orde Baru. Setelah masuk era B.J. Habibie membuat fakta-fakta baru bermunculan semuanya karena sejarah dan penelitian terkait G30S tak lagi ditutupi.
Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dituding dalang dari semuanya pun tak lagi harus PKI. ada kekuatan luar yang dianggap menyokong agenda pelengseran Bung Karno. Pun sekalipun PKI dalangnya, tentu tak dibenarkan jika orang lain simpatisan PKI-yang tak tak bersalah harus dihukum.
KH Abdurrahman Wahid (Gusdur) yang menggantikan Habibie sebagai Presiden pada Maret 2000. Ia pun menyadari hal itu dan meminta maaf atas pembantian simpatisan PKI pada 1965-1966.
Permintaan maaf itu diutarakannya langsung kepada seluruh keluarga korban yang dianggap bagian dari Komunis. Baginya, belum tentu semua orang yang dituduh sebagai Komunis semua bersalah dan harus dihukum mati.
Sebagai bentuk keseriusan, Gus Dur ikut mengusulkan bahwa Tap MPRS No XXV/1966 soal pembubaran PKI dan pelarangan penyebaran ajaran marxisme, komunisme, dan leninisme segera dicabut.
Ternyata, saat masih menjabat sebagai ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama pada 1995 silam, Gus Dur tak menampik jika ada warga NU terlibat pembantaian terduga simpatisan PKI. Hal ini Gus Dur sampaikan di beberapa kesempatan terutama dalam pertemuan pertemuan dengan berbagai LSM (Lembaga
Swadya Masyarakat) atau dengan sahabat-sahabat. Salah satunya dalam pertemuan, sambil makan malam, di restoran koperasi
Indonesia di Paris.
“Kami semua terheran-heran bercampur kagum mendengar pernyataan Gus Dur bahwa di antara orang-orang yang terbunuh itu banyak yang tidak bersalah apa-apa, dan bahwa tidak sedikit yang telah menjadi korban tindakan-tindakan orang-orang NU sendiri,” tulis wartawan senior sekaligus aktivis Perancis kelahiran Indonesia, Ayik Umar Syaid, seperti dikutip dari situs pribadinya, umarsaid.gitlab.io, Ahad, 3 Oktober 2021.
Pernyataan maaf atas Gus Dur pun memuculkan pro dan kontra. Mereka yang kontra beranggapan penyataan Gus Dur sebagai bentuk pembenaran
supaya komunis bangkit lagi.
Namun, Gus Dur tak ambil pusing. Sebab, agenda meminta maaf atas pembantaian komunis sudah dilakukannya jauh-jauh hari. “Dengan meminta maaf, Gus Dur juga membongkar belenggu takhayul selama hampir seperempat abad: bahwa tiap orang PKI, juga tiap anak, istri, suaminya, layak dibunuh atau disingkirkan.
Gus Dur mencampakkan sebuah sikap yang tak mau bertanya lagi: adilkah yang terjadi sejak 1965 itu? Seandainya pun pimpinan PKI bersalah besar pada tahun 1965, toh tetap amat jalim hukuman yang dikenakan kepada tiap orang, juga sanak keluarganya, yang terpaut biarpun tak langsung dengan partai itu.”
“Kita ingat kekejaman purba: sebuah kota dikalahkan dan setiap warganya dibantai atau diperbudak. Gus Dur agaknya tak menginginkan kezaliman itu. la, sebagai presiden, membiarkan dirinya dipotret duduk mesra dekat Iba, putri D.N. Aidit, yang hampir seumur hidupnya jadi pelarian yang tanpa paspor di Eropa.
Dalam adegan itu ada gugatan: bersalahkah Iba hanya karena ia anak Ketua PKI? Jawaban Gus Dur: tidak,” ungkap Goenawan Mohamad dalam
buku Setelah Revolusi Tak Ada Lagi (2001).
Peristiwa pembantaian itu terus menghantui segenap rakyat Indonesia. Bahkan, empunya kuasa sempat membuat film khusus untuk melanggengkan propaganda terkait kejahatan dari G30S. Langkah itu disinyalir untuk menutupi kebrutalan upaya ‘pembersihan’ PKI oleh Orba.
Editor : Hamdani
Sumber Berita : Voi.id, Nasional Tempo.co