Oleh: Mercurius
Perpisahan emosional bos Sritex dengan ribuan karyawannya bukan sekadar momen haru, tapi juga potret buram krisis industri tekstil nasional. Di tengah suasana penuh duka, nyanyian Kenangan Terindah dari Samson menggema, seolah menjadi pengingat bahwa kejayaan yang pernah ada kini perlahan memudar.
Dengan utang mencapai US$1,6 miliar dan gelombang PHK massal, Sritex hanyalah satu dari sekian banyak perusahaan yang terhimpit tekanan ekonomi dan serbuan produk impor murah. Industri tekstil, yang dulu menjadi kebanggaan nasional, kini di ambang keterpurukan. Jika pemerintah tidak segera bertindak dengan kebijakan protektif dan insentif bagi industri lokal, perpisahan ini bisa menjadi awal dari kejatuhan lebih besar.
Di tengah situasi ini, Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer menyatakan siap “pasang badan” untuk melindungi hak-hak pekerja Sritex. Janji untuk memastikan pembayaran pesangon dan mencarikan pekerjaan baru bagi ribuan karyawan terdampak terdengar meyakinkan. Namun, pertanyaannya: apakah ini akan benar-benar terealisasi atau sekadar retorika?
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa ribuan pekerja kini berada dalam ketidakpastian. Jika pemerintah serius, maka perlu ada langkah nyata—bukan hanya janji, tapi eksekusi. Pesangon harus diawasi agar benar-benar dibayarkan, sementara program pelatihan ulang (reskilling) dan penyerapan tenaga kerja harus segera dilakukan. Tanpa itu, pernyataan “pasang badan” hanya akan menjadi jargon politik tanpa makna bagi mereka yang kehilangan pekerjaan.
Lagu itu bukan sekadar nostalgia, tapi juga ironi—kenangan indah yang kini berubah pahit. Jangan biarkan ribuan pekerja hanya bernyanyi untuk perpisahan. Sudah saatnya harapan baru diciptakan, sebelum yang tersisa hanyalah kenangan industri yang semakin hilang dari tanah sendiri. (BOMINDONESIA.COM)