Kisah Negeri Sejuta Masjid: Paradoks Negeri Kaya yang Kehilangan Berkah

BOMINDONESIA.COM – Pagi masih digulung kegelapan ketika suara azan menggema dari pengeras suara masjid kecil di sudut kampung. Marwan, seorang buruh lepas yang juga pengemudi ojek daring, menyalakan motornya yang semakin uzur.
Di saat banyak orang masih tertidur, ia sudah berada di rumah makan tempatnya bekerja lepas. Ya, marwan bersiap mengantar pesanan nasi uduk dan bubur ayam ke rumah-rumah pelanggan. Dalam sehari, jika beruntung, ia bisa membawa pulang seratus ribu rupiah. Tapi pada hari-hari biasa, lima puluh ribu pun cukup. Bukan karena cukup secara harfiah, melainkan karena memang tak ada pilihan lain.
Marwan bukan pengecualian. Ia adalah representasi dari puluhan juta rakyat Indonesia yang menggantungkan hidup pada penghasilan harian. Mereka adalah buruh informal, guru honorer, petani gurem, pedagang kaki lima, tukang bangunan, perajin rumahan, sopir angkutan kota, dan banyak lagi profesi yang luput dari perhatian statistik resmi. Mereka yang tak tercatat rapi dalam data negara justru menjadi fondasi tak kasatmata yang menyangga roda ekonomi bangsa.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2024, tingkat kemiskinan di Indonesia diklaim hanya 9,03 persen. Tapi angka itu didasarkan pada garis kemiskinan sebesar Rp 548.000 per kapita per bulan—angka yang setara dengan kurang lebih Rp 18.000 per hari. Bila di bandingkan dengan standar internasional Bank Dunia yang menetapkan garis kemiskinan pada USD 6,85 per hari (setara lebih dari Rp 110.000/hari atau sekitar Rp 3.300.000/bulan), maka kita akan terpana; mengapa?. Ini karena jika menggunakan acuan ini, maka dipastikan lebih dari 50 persen penduduk Indonesia sejatinya hidup dalam kondisi miskin atau rentan miskin. Artinya, Marwan dan jutaan lainnya berada dalam realitas kemiskinan tersembunyi yang tak terungkap dalam laporan resmi.
Kisah Marwan hanyalah satu dari sekian banyak potret tentang kemiskinan struktural yang telah berlangsung lama. Di desa Purwosari, Wonosobo, misalnya, warga hidup dalam keterbatasan meski dikelilingi bukit dan lahan subur. Di Lampung Tengah, anak-anak di Kampung Bumi Raharjo lebih cepat mengayuh sepeda motor membawa hasil kebun ke pasar ketimbang membawa tas ke sekolah.
Ketimpangan akses terhadap pendidikan dan layanan dasar lainnya memperparah kondisi. Menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2023, hanya 28,7% rumah tangga di desa yang memiliki akses terhadap layanan internet memadai. Padahal dalam era digital, internet juga menjadi penentu mobilitas sosial, pendidikan, dan peluang ekonomi.
Laporan Oxfam Indonesia tahun 2021 juga menggarisbawahi bahwa satu persen penduduk terkaya di Indonesia menguasai hampir separuh dari total kekayaan nasional. Sementara 100 juta warga termiskin hanya berbagi kurang dari 3 persen kekayaan. Ini bukan sekedar ketimpangan ekonomi, tapi juga ketimpangan akses terhadap peluang hidup yang lebih baik.
Padahal, amanat Konstitusi Pasal 33 UUD 1945 tegas menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Namun realitas menunjukkan hal sebaliknya. Kekayaan alam seperti emas, batu bara, nikel, gas, dan minyak lebih banyak diekspor atau dikelola oleh korporasi besar yang terhubung dengan elite kekuasaan, ketimbang memberikan manfaat langsung bagi rakyat.
Data dari Publish What You Pay Indonesia (2023) menunjukkan bahwa penerimaan negara dari sektor tambang hanya berkisar 7–9 persen dari total nilai ekonomi sektor tersebut. Sisanya? Mengalir ke kas perusahaan besar, termasuk perusahaan multinasional yang membayar royalti dengan tarif rendah. Sementara di wilayah-wilayah penghasil tambang, rakyat hidup dengan debu, air tercemar, dan lahan kritis.
Di sektor sosial, negara memang menggelontorkan triliunan rupiah dalam bentuk bantuan langsung tunai, bansos sembako, PKH, dan subsidi energi. Namun efektivitasnya masih dipertanyakan. Menurut laporan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2022, lebih dari 30% penerima bansos tidak memenuhi syarat. Penyebabnya antara lain data yang tidak akurat, sistem distribusi manual, serta campur tangan politik lokal.
Lebih dari itu, kebijakan fiskal dan arah pembangunan nasional masih berpusat pada pertumbuhan ekonomi semu yang tak menyentuh akar ketimpangan. APBN 2025 mengalokasikan hampir Rp 800 triliun untuk infrastruktur fisik, namun belanja pendidikan dan kesehatan masih jauh dari ideal. Birokrasi juga tersandera kepentingan elektoral jangka pendek, yang membuat program sosial hanya menjadi alat pencitraan.
Sisi lain, ironi terbesar adalah ketika negeri dengan populasi Muslim terbesar di dunia ini, dengan sekitar 800.000 masjid dan musala di seluruh penjuru negeri, justru masih menyaksikan umatnya hidup dalam ketimpangan yang akut. Di kampung dan kota, suara azan berkumandang lima kali sehari. Namun, apakah semangat azan itu benar-benar membangkitkan keadilan sosial?
Zakat, infak, sedekah, dan wakaf adalah instrumen ekonomi Islam yang jika dikelola secara profesional bisa menjadi kekuatan transformatif. Potensi zakat nasional diperkirakan mencapai Rp 327 triliun per tahun (BASNAS, 2023), tapi realisasi penghimpunan masih di bawah Rp 30 triliun. Artinya, ada potensi besar yang belum tergarap karena lemahnya tata kelola, kurangnya literasi, dan minimnya kesadaran kolektif.
Masjid sebagai pusat kehidupan umat semestinya tidak berhenti pada aktivitas ritual. Ia harus menjadi pusat distribusi keadilan, pusat advokasi sosial, pusat pemberdayaan ekonomi, dan pusat dakwah transformatif. Namun kenyataannya, banyak masjid justru larut dalam formalitas, atau bahkan ikut terjebak dalam pusaran politik sektarian dan perebutan kepengurusan.
Sejatinya, keadilan dalam Islam bukan sekedar nilai, tapi adalah syarat bagi keberkahan. Ketika masjid berdiri megah, tapi anak-anak di sekitarnya kelaparan, maka kita kehilangan roh ajaran Islam itu sendiri. Ketika umat sibuk memperindah kubah, namun lupa pada kemiskinan struktural, maka kita gagal memahami makna rahmatan lil ‘alamin.
Marwan mungkin tidak paham makroekonomi, indeks Gini, atau wacana pembangunan berkelanjutan. Ia hanya ingin anaknya bisa sarapan dan tetap sekolah. Ia ingin hidup dalam kepastian, bukan belas kasihan. Bagi negara, kebutuhan sederhana ini mestinya bukan beban, tapi tanggung jawab. Dan bagi umat Islam, kehadiran Marwan adalah panggilan jiwa untuk bangkit, bukan sekedar berdoa, memberi nasehat atau berceramah saja.
Jika negeri ini terus mengabaikan orang-orang seperti Marwan, maka bukan hanya berkah yang akan hilang, tapi juga arah masa depan bangsa. Dan jika umat hanya sibuk membangun masjid tapi lupa memperjuangkan keadilan, maka kita sedang membangun rumah ibadah yang kosong makna.
Di tengah negeri sejuta masjid ini; di tengah rebutan lahan dan maraknya pengelolaan berbagai kekayaan SDA barangkali sudah saatnya kita bertanya: apakah kita masih pantas mengklaim diri sebagai bangsa yang diberkahi?.
Penulis Dr H Subhan Syarief MT (Subhan Syarief/AI:2025/Batang Banyu Institute)
Join channel telegram websitekami.com agar tidak ketinggalan berita loker terbaru lainnya
Join now