BOMINDONESIA.COM, BANJARMASIN – SIDANG praperadilan antara pemohon tersangka korupsi kader sosial MS melawan Kejati Kalsel kembali bergulir di PN Banjarmasin, Jumat (27/9/2024).
Pada sidang kali ini, Dr Alfira SH Mhum, saksi ahli yang dihadirkan pemohon praperadilan tersangka korupsi bantuan sosial di HST MS, berpendapat kalau penetapan tersangka cacat formil kalau penyidik tidak melakukan langkah-langkah hukum.
Langkah hukum yang dimaksud yakni pemeriksaan saksi-saksi, kemudian menerbitkan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP), dan ekspose atau gelar untuk mengetahui apakah unsur pidananya terpenuhi atau tidak.
Semua itu ujarnya harus dipenuhi. “Kalau langkah-langkah secara prosedural itu tidak dilakukan maka itu bisa dikatakan cacat formil,” ujar ahli yang merupakan dosen di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Semarang ini.
Saksi ahli dihadirkan kuasa hukum pemohon dari Kantor Zainal Abidin SH MH dan rekan pada persidangan dengan hakim tunggal Suwandi SH itu. Kembali dimintai pendapatnya oleh Zainal Abidin SH MH s, terkait soal satu SPDP apakah bisa diberlakukan untuk dua kasus atau diseplit.
Menurut ahli dalam prakteknya hal tidak boleh dan tidak dibenarkan. “Tidak boleh disatukan, harus terpisah. “Kalau kasusnya diseplit namun SPDP nya disatukan itu juga cacat formil,” ucapnya usai persidangan.
Terkecuali lanjut saksi menjawab pertanyaan dari pemohon yang diwakili Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati Kalsel Abdul Mubin SH MH terkait pasal 55 KUHP. “Bisa dijadikan satu SPDP kalau jonto atau kasusnya tidak diseplit,” jelas ahli kembali.
Kembali diminta pendapatnya oleh kuasa hukum pemohon, apakah bisa dibenarkan kalau penyidik mengambil uang yang sudah disetor ke kas daerah untuk dijadikan barang bukti? Menurut ahli harus dilihat dulu penyerahan itu sesuai prosedur atau tidak.
Kalau diserahkan secara prosedur itu sah menurut UU, sebab itu sudah milik daerah. “Sehingga tidak dibenarkan dijadikan barang bukti sebab bukan kejahatan,” beber ahli yang mengaku sudah 99 kali menjadi saksi ahli praperadilan ini.
Pemohon praperadilan sendiri rencananya akan menghadirkan tiga orang saksi, dua diantaranya dari BPKAD Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) yakni Edi dan Hamdan. Namun usai disumpah keduanya batal bersaksi setelah termohon menyatakan keberatan sebab setelah ditanya ternyata mereka tidak mengantongi izin baik dari instansi maupun pimpinan. “Kami keberatan mereka bersaksi,” ujar Abdul Mubin instrupsi.
Kepada hakim Suwandi, kedua saksi mengaku secara lisan diminta pimpinan mereka yakni Sekda HST untuk menghadiri sidang praperadilan di PN Banjarmasin. “Perintahnya secara lisan saja, ke PN Banjarmasin. Kami juga baru tahu kalau ternyata diminta dijadikan saksi,” katanya.
Menurut Suwandi, paling tidak kedua saksi membawa surat rekomendasi dari pimpinan mereka. Kalau begini lanjut Suwandi mereka harus berani menanggung resiko sebab jadi saksi dan keluar kantor tanpa izin resmi. Berkoordinasi sejenak, keduanya akhirnya menyatakan mundur jadi saksi karena takut akan konsekuensi yang bakal mereka terima sebagai ASN.
Zainal sendiri usai sidang kepada sejumlah wartawan berharap permohonannya dikabulkan. “Sebab disini kita tidak mempermasahkan kasusnya tapi penetapan tersangka. Sesuai prosuder atau tidak yang dijalankan kejaksaan,” ujar Zainal.
Diketahui, praperadilan diajukan karena pemohon merasa keberatan atas proses penetapan tersangka yang dilakukan oleh Kejati Kalsel.
Seperti diketahui, pemohon MS adalah politikus asal Hulu Sungai Tengah (HST) berusia 28 tahun, yang kini menjadi anggota DPRD setempat ditetapkan sebagai tersangka dalam dugaan kasus korupsi terkait kegiatan kader sosial pada tahun anggaran 2022. Ia resmi ditahan oleh Tim Penyidik Bidang Pidsus Kejati Kalsel setelah menjalani pemeriksaan sebagai saksi beberapa waktu lalu.
Penulis : Mercurius
Editor : Mercurius