BOMINDONESIA.COM, JAKARTA – Nama Ki Hajar Dewantara lekat sebagai Bapak Pendidikan Nasional. Pemikiran besarnya yang memajukan dunia pendidikan Indonesia membuat tanggal lahirnya, 2 Mei, ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional. Namun, tak banyak yang tahu bahwa sosok bernama asli Soewardi Soeryaningrat itu hanya mengenyam pendidikan setara Sekolah Dasar (SD) dan bahkan sempat drop out dari pendidikan tinggi.
Soewardi lahir dari keluarga aristokrat Jawa, bagian dari garis keturunan Pangeran Paku Alam. Namun, kondisi ekonomi keluarganya yang menurun membuatnya tak menikmati sepenuhnya hak istimewa kaum bangsawan. Ia mengenyam pendidikan dasar di Europese Lagere School (ELS), sekolah khusus anak-anak Eropa dan elit pribumi, yang kini setara dengan SD.
Setelah lulus dari ELS, Soewardi melanjutkan pendidikan di School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA), sekolah pendidikan dokter pribumi yang setara perguruan tinggi. Sayangnya, ia harus mengundurkan diri pada 1909 akibat kondisi fisik yang lemah dan sering sakit-sakitan.
Sejarawan Djoko Marihandono mencatat bahwa ketidakhadirannya yang terlalu sering membuat beasiswanya dicabut, sehingga Soewardi keluar dari STOVIA. Ia pun beralih bekerja sebagai buruh pabrik gula, petugas perkebunan, staf perusahaan obat, hingga menjadi wartawan.
Meski tanpa gelar tinggi, pemikiran Soewardi justru jauh melampaui banyak lulusan formal. Pada 1922, ia mendirikan sekolah alternatif Taman Siswa di Yogyakarta, sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem pendidikan kolonial yang diskriminatif.
Di sanalah ia mencetuskan filosofi pendidikan yang hingga kini masih digunakan, yakni Ing Ngarsa Sung Tuladha (di depan memberi teladan), Ing Madya Mangun Karsa (di tengah membangun semangat), dan Tut Wuri Handayani (di belakang memberi dorongan).
Atas kontribusinya, Soewardi ditetapkan sebagai pahlawan nasional dan Hari Pendidikan Nasional diperingati setiap 2 Mei sesuai hari kelahirannya, berdasarkan Keppres No. 316 Tahun 1959.
Kisahnya menjadi pengingat bahwa kecintaan terhadap ilmu dan pendidikan tidak selalu ditentukan oleh seberapa tinggi ijazah yang dimiliki, melainkan oleh ketulusan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
Penulis : Mercurius
Editor : Mercurius