Fabel: Tikus di Menara, Elang di Langit

BOMINDONESIA.COM – -Di sebuah menara tinggi yang menjulang, seekor tikus berdiri angkuh, bertahta bak maharaja.
Dari ketinggian itu, ia memandang rendah pada dunia di bawahnya. Tikus-tikus lain menatapnya penuh kekaguman, menyembahnya layaknya dewa.
Mereka lupa bahwa ia tetap seekor tikus, bukan karena tahtanya berubah, tapi karena sikap dan persepsi yang memuja rupa, bukan esensi.
Namun seperti halnya dunia, kuasa tidak pernah kekal. Nun jauh di langit, seekor elang membelah awan, mencari mangsa bukan untuk berkuasa, tapi untuk hidup.
Tanpa singgasana, tanpa pengikut, sang elang tetap menjadi penguasa sejati. Ketika mata elang mengarah pada sang “maharaja”, ketakutan pun menyergap.
Tikus itu panik, sadar bahwa menara yang ia banggakan bukan tempat aman, melainkan panggung yang menjadikannya sasaran empuk.
Fabel ini mengingatkan kita: di atas langit masih ada langit. Kesombongan manusia sering kali lahir dari ilusi kuasa dan pujian, tapi dunia tak tunduk pada ego.
Ketinggian bukan tentang posisi, melainkan tentang makna keberadaan. Tikus di puncak menara hanyalah simbol bagaimana manusia sering tertipu oleh kedudukan dan penghormatan semu. Sementara sang elang—yang diam, bebas, dan kuat—melambangkan kekuatan sejati: sederhana namun tajam, rendah hati namun berwibawa.
Dalam hidup ini, kita sering menjadi si tikus: membangun menara, mengejar pengakuan, mengharap disembah. Tapi semesta selalu menghadirkan “elang” yang membuka mata kita bahwa segala kemegahan bisa runtuh dalam satu kepakan sayap waktu.
Fabel ini bukan hanya kisah hewan, melainkan cermin kehidupan. Di atas setiap kuasa, selalu ada kuasa yang lebih besar. Dan pada akhirnya, yang membedakan bukan siapa yang di atas, tapi bagaimana kita memaknai tempat kita di dunia.
Join channel telegram websitekami.com agar tidak ketinggalan berita loker terbaru lainnya
Join now