BOMINDONESIA.COM, JAKARTA —Nurnaningsih, aktris legendaris Indonesia dari era 1950-an, lahir di Wonokromo, Surabaya, pada 5 Desember 1928. Dibalik pesonanya yang memikat, tersimpan kisah hidup penuh liku dan kontroversi.
Dengan garis keturunan bangsawan Yogyakarta dari sang ayah dan Surakarta dari ibunya, Nurnaningsih besar di tengah harapan keluarganya untuk menjalani kehidupan yang patuh pada tradisi.
Namun, keinginan kuat Nurna—panggilan akrabnya—untuk menjadi bintang film tidak dapat dibendung. Perjalanan hidupnya dimulai dengan pernikahan yang singkat dan penuh tekanan, yang hanya bertahan dua bulan.
Tekadnya untuk merantau ke Jakarta pada usia 25 tahun membuktikan semangat juangnya. Meski tinggal di gubuk di pinggir Kali Ciliwung, Nurna tak pernah menyerah. Ia mengejar mimpinya dengan belajar vokal dan teater.
Mimpi itu terwujud ketika Usmar Ismail mengajaknya membintangi film Krisis (1953), meski bayarannya hanya Rp180. Kesuksesan Krisis menyelamatkan industri film nasional dari keterpurukan finansial
Setahun kemudian, Nurnaningsih membintangi film Harimau Campa karya Jayakusuma, yang semakin mengukuhkan namanya. Namun, film ini juga menimbulkan kontroversi karena adegan vulgar yang membuatnya dijuluki “bom s3ks” Indonesia.
Aksi Nurna menjadi sorotan media dan publik, tetapi dia berdalih bahwa hal tersebut adalah bagian dari seni. Kepopulerannya semakin meroket, bahkan foto-foto vulgarnya beredar hingga ke Amerika dan Italia.
Meskipun dikecam, skandal ini justru menambah popularitas Nurna. Ia tetap tampil percaya diri di berbagai pementasan, meski akhirnya boikot masyarakat membuatnya perlahan menghilang dari dunia perfilman.
Namun, di bawah era Presiden Soeharto yang lebih terbuka pada budaya barat, Nurnaningsih kembali ke layar perak. Ia tampil dalam beberapa film terkenal seperti Bernafas dalam Lumpur (1970), Nafsu Gila (1973), dan Malam Satu Suro (1988), sebelum akhirnya wafat pada 21 Maret 2004.
Nurnaningsih bukan hanya ikon perfilman, tetapi juga simbol kontroversial yang mengguncang norma sosial zamannya. Keberaniannya menantang tabu, sekaligus kecintaannya pada seni, menjadikannya legenda abadi di jagat hiburan Indonesia.
Editor : Mercurius