BOMINDONESIA.COM, JAKARTA โ Penembakan Misterius atau Petrus merupakan kasus yang terjadi antara tahun 1983-1985 atau pada masa Orde Baru.
Petrus adalah salah satu peristiwa kelam yang terjadi di Era Orde Baru. Peristiwa ini termasuk dalam golongan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia, karena telah mengadili seseorang tanpa melalui proses hukum.
Dikutip dari akun X @Silvinof pelanggaran hak asasi yang dilakukan dalam Petrus adalah menghakimi siapa saja yang dinilai sebagai pelaku kriminal atau kejahatan, seperti preman, perampok, dan lain-lain.
Pada 1983, tercatat sebanyak 532 orang tewas dan 367 tewas karena luka tembak diduga korban penembakan misterius. Kemudian, pada 1984, ada 107 tewas dan pada 1985 sejumlah 74 orang tewas, 28 di antaranya tewas karena ditembak.
Latar belakang
Pada awal 1980-an, telah banyak ditemukan warga Indonesia yang tewas, bahkan kian tahun terus meningkat. Panglima Angkatan Bersenjata Indonesia, Jenderal Leonardus Benjamin Moerdani, mulanya menyalahkan kasus pembunuhan ini kepada geng.
Berawal dari situ, penembakan misterius dilakukan untuk menekan angka kriminalitas. Operasi ini rencana akan dilakukan bulan Maret 1983 oleh Komandan Garnisun Yogyakarta, Letkol M Hasbi.
Namun, setelah berita ini tersebar, beberapa penjahat menyerahkan diri, beberapa ditembak, ada yang melarikan diri, dan yang lainnya berhenti melakukan kejahatan.
Ternyata, peristiwa Petrus ini membuat angka kejahatan menurun secara signifikan, khususnya tahun 1983. Kejahatan kekerasan di Yogyakarta menurun dari 57 menjadi 20 dan Semarang menurun dari 78 menjadi 50.
Berkat keberhasilan ini, pemerintah terus melanjutkan Petrus. Intejilen polisi memberi Komandan Garnisun daftar orang-orang yang termasuk jadi tersangka kejahatan.
Garnisun kemudian membuat daftar baru dan mengeluarkan ultimatum publik kepada semua gali (preman) untuk segera menyerah ke markas garnisun, tanpa perlu menyebutkan nama.
Mereka yang merasa preman, harus menandatangani pernyataan setuju menahan diri dari kegiatan kriminal. Jika tidak, mereka akan menghadapi tindakan tegas dari pihak berwajib.
Kendati taktik ini berhasil, Soeharto tetap tidak mengakui bahwa aksi pembunuhan dan fakta mengenai Petrus yang sudah terjadi itu dilakukan oleh militer.
Bagi Soeharto, para pelaku kriminal yang melawan, harus ditembak. Aksi Petrus dianggap telah melanggar Hak Asasi Manusia, karena telah membunuh seseorang tanpa diadili melalui jalur hukum.
Amnesti Internasional juga mengirimkan surat untuk menanyakan kebijakan pemerintah Indonesia. Pada akhirnya, Petrus diakhiri pada 1985, karena banyak mendapat perdebatan pendapat dan tekanan dari internasional.
Penulis : Mercurius
Editor : Mercurius