BOMINDONESIA.COM — Musim mudik telah berakhir, Lebaran 2025 telah usai. Kini, jutaan warga kembali ke kota-kota besar dengan sisa tenaga dan bekal semangat untuk memulai hari-hari baru.
Mereka berdesakan dalam arus balik yang padat, sebagian harus menempuh perjalanan puluhan jam demi satu tujuan: kembali bekerja, kembali mencari rupiah, dan kembali bertahan di tengah kehidupan yang makin tidak mudah.
Setelah sejenak beristirahat dan bersua dengan keluarga di kampung halaman, masyarakat kini dihadapkan lagi pada realita hidup yang keras. Harga kebutuhan pokok belum turun sejak lonjakan menjelang Ramadan, tarif transportasi masih tinggi, dan biaya hidup di kota-kota besar terus merangkak naik. Tak sedikit yang harus berutang demi bisa mudik, dan kini kembali ke rutinitas dengan beban finansial yang lebih berat.
Di tengah ini semua, berbagai kebijakan pemerintah justru makin terasa menjauh dari keberpihakan pada rakyat kecil. Kenaikan tarif dasar listrik non-subsidi, wacana pengenaan pajak daerah yang lebih besar berdasarkan UU HKPD, hingga absennya kendali harga pangan yang efektif, menambah daftar panjang tantangan yang harus dihadapi masyarakat.
Sayangnya, respons pemerintah tidak selalu seiring dengan denyut nadi rakyat. Yang muncul justru kebijakan tambal sulam dan seruan moral untuk “bersabar”. Padahal, rakyat tidak butuh ajakan bersabar — mereka butuh tindakan konkret, stabilitas harga, dan perlindungan dari tekanan ekonomi yang tak kunjung reda.
Sementara itu, pelayanan publik pun belum sepenuhnya pulih. Masih banyak kantor pemerintahan yang terlihat lengang pasca-libur panjang. Meski telah ada surat edaran dari Mendagri yang mengatur fleksibilitas kerja ASN untuk mengurai arus balik, pengawasan di lapangan lemah. Rakyat kembali bekerja, tapi justru pelayanan publik masih tersendat.
Saatnya Pemerintah Mendengar
Rakyat telah kembali bekerja — bukan karena ingin, tapi karena harus. Mereka tidak punya pilihan lain. Maka yang dibutuhkan bukan sekadar seremonial ucapan “selamat bekerja kembali”, melainkan kehadiran nyata negara dalam bentuk perlindungan ekonomi, kepastian harga, dan akses pelayanan publik yang tidak tersendat karena alasan administratif.
Pasca-Lebaran seharusnya menjadi momentum refleksi, bukan euforia berkepanjangan. Pemerintah harus sadar bahwa tantangan ke depan tidak semakin ringan. Dunia usaha masih terseok, daya beli masyarakat terus menurun, dan ancaman pengangguran tetap menghantui. Diperlukan kebijakan yang berpihak, bukan yang hanya terlihat indah di atas kertas.
Rakyat telah kembali ke jalanan, ke pasar, ke pabrik, ke meja-meja kerja yang menanti. Kini giliran negara yang hadir, bukan sekadar lewat aturan, tetapi lewat tindakan nyata. Karena libur telah usai, dan perjuangan rakyat kembali dimulai.
Penulis : Mercurius
Editor : Mercurius