BOMINDONESIA.COM — Tiap kali ada reuni musisi rock era 80–90-an, sering kali kita disuguhi lagu-lagu yang itu-itu saja: Highway Star, Smoke on the Water, Jump.
Lagu-lagu itu tentu ikonik.
Tapi membatasi rock klasik hanya pada lagu-lagu tersebut adalah menyederhanakan satu era yang sesungguhnya sangat kaya dan penuh warna.
Rock klasik bukan cuma tiga atau empat lagu yang familiar.
Di baliknya, ada ledakan musikal dari Kansas yang penuh melodi, napas panjang progresif Uriah Heep, gebrakan garang dari Judas Priest dan AC/DC, Led Zeppelin hingga dentuman epik Rainbow, Dio, Iron Maiden, dan Scorpions.
Mereka semua adalah bagian dari peta besar musik keras yang membentuk karakter dan semangat zaman.
Anak Banua, kita yang hidup di tanah Kalimantan Selatan, punya daya apresiasi seni yang tinggi.
Sayangnya, dalam banyak panggung reuni atau acara nostalgia, referensi rock klasik kadang terlalu sempit.
Ini bukan sekadar soal selera, tapi juga soal literasi musik.
Saatnya kita perluas cakrawala. Saatnya kita hadirkan lagu-lagu yang tak hanya populer, tapi juga bersejarah dan membentuk budaya.
Reuni seharusnya jadi ruang edukasi musikal, bukan hanya panggung nostalgia.
Karena rock sejatinya bukan hanya soal mengenang masa lalu, tapi juga tentang terus menghidupkan semangat kebebasan, keberanian, dan orisinalitas.
Semangat yang seharusnya terus dinyalakan di setiap dada anak Banua hari ini.
Penulis : Mercurius
Editor : Mercurius