BOMINDONESIA.COM — Ketika sahabat-,teman, kerabat saya meninggal dunia, saya sering menyanyikan lagu “Bing”—lagu duka yang indah dan pilu—namun saya ganti liriknya, saya selipkan nama mereka di sana.
Bahkan ketika ayah saya wafat, saya pun membawakannya dengan lirik yang berubah: ” Tiada ..tiada Ayah lagi..” Lagu itu selalu membuat saya merasa dekat dengan mereka yang telah pergi, seperti membuka jendela kenangan yang tak kunjung tertutup.
Saya pertama kali mendengar lagu “Bing” saat masih SD. Ayah saya sering memutar lagu-lagu lawas di rumah—dari The Mercy’s, Koes Plus, hingga lagu-lagu penuh makna seperti “Bing.”
Saat itu saya belum tahu siapa pencipta lagu legendaris itu. Baru bertahun-tahun kemudian saya sadar, lagu yang begitu dalam itu ditulis oleh seorang wanita luar biasa: Titiek Puspa.
Eyang Titiek, begitu kita memanggilnya, bukan sekadar legenda. Ia adalah simbol keteguhan perempuan dalam dunia seni, seorang pencipta lagu, penyanyi, aktris, dan inspirasi lintas generasi. Lagu-lagunya tak lekang oleh waktu, dari “Kupu-Kupu Malam”, “Apanya Dong”, “Bing”, hingga “Doa Seorang Ibu”—semuanya seperti potret hidup yang dibingkai dengan nada dan kata.
Karya-karyanya adalah warisan budaya yang mengisi ruang batin kita dengan emosi yang jujur—tentang cinta, kehilangan, kerinduan, bahkan kritik sosial.
Eyang Titiek tak hanya menulis lagu, ia menuliskan sejarah perasaan bangsa ini. Kini, ketika Eyang Titiek sendiri telah pergi, rasanya lagu “Bing” kembali mengalun di kepala saya.
Tapi kali ini, saya tak perlu mengganti nama di dalamnya. Karena lagu itu, dan seluruh hidupnya, memang telah menjadi doa paling tulus bagi setiap kepergian.
Selamat jalan, Eyang Titiek. Terima kasih atas semua yang kau tinggalkan untuk kami.
Penulis : Mercurius
Editor : Mercurius