BOMINDONESIA.COM, JAKARTA –Pada tanggal 19 Oktober 1987, Indonesia dihadapkan pada salah satu insiden paling memprihatinkan dalam sejarah perkereta apian. Kecelakaan ini terjadi antara dua kereta api yang beroperasi di jalur tunggal, yakni KA 225 dan KA 220, yang bertabrakan di kawasan Bintaro, Jakarta Selatan. Insiden ini mengakibatkan ratusan korban jiwa serta ratusan lainnya terluka. Tragedi ini mengungkapkan kelemahan dalam sistem transportasi kereta api Indonesia pada masa itu, yang sepenuhnya bergantung pada komunikasi manual dan minim infrastruktur keselamatan otomatis.
Sekitar pukul 07.00 WIB, KA 225, kereta ekonomi dengan rute dari Stasiun Rangkasbitung menuju Jakarta, sedang dalam perjalanan. Di waktu yang bersamaan, KA 220, kereta cepat dari arah Tanah Abang menuju Merak, melaju dengan kecepatan tinggi di jalur yang sama dari arah berlawanan. Pada saat itu, tidak tersedia sistem pengendalian lalu lintas kereta berbasis teknologi seperti sekarang. Sistem yang digunakan sepenuhnya bergantung pada sinyal manual dan instruksi radio antarpetugas.
Kecelakaan ini dipicu oleh salah komunikasi antara petugas di stasiun dan masinis. KA 225 mendapat instruksi yang keliru untuk melanjutkan perjalanan tanpa memperhitungkan bahwa KA 220 juga berada di jalur tersebut. Akibatnya, sekitar pukul 07.45 WIB, kedua kereta bertabrakan dengan keras di jalur antara Stasiun Sudimara dan Stasiun Kebayoran. Tabrakan ini menyebabkan beberapa gerbong rusak parah, dan banyak penumpang terjebak di dalam puing-puing kereta yang hancur.
Akibat tabrakan ini, lebih dari 150 orang meninggal dunia di lokasi kejadian, dan lebih dari 300 lainnya mengalami luka-luka. Warga di sekitar lokasi kecelakaan segera berinisiatif untuk memberikan pertolongan, namun upaya evakuasi berjalan lambat karena keterbatasan alat dan kondisi lokasi yang sulit. Relawan dan tim medis yang tiba di lokasi harus menggunakan alat-alat seperti palu dan linggis untuk mengeluarkan korban yang terjebak dalam puing-puing kereta.
Kapasitas rumah sakit di wilayah Jakarta pun kewalahan dengan jumlah korban yang terus berdatangan, memaksa tenaga medis bekerja dalam situasi darurat dengan segala keterbatasan fasilitas.
Hasil investigasi menunjukkan penyebab utama kecelakaan ini adalah kesalahan komunikasi dan ketergantungan penuh pada sistem sinyal manual. Pada waktu itu, infrastruktur keselamatan transportasi kereta api Indonesia masih terbatas, dan belum menerapkan sistem pengendalian otomatis yang bisa mencegah kereta berada di jalur yang sama. Selain itu, keterbatasan pelatihan dan pendidikan keselamatan bagi petugas dan masinis turut memperburuk situasi, karena pengambilan keputusan sering kali dilakukan tanpa standar keselamatan yang memadai.
Pasca tragedi, Kementerian Perhubungan bersama Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA), yang kini dikenal sebagai PT Kereta Api Indonesia (PT KAI), mulai melakukan evaluasi terhadap sistem operasi kereta api. Pembenahan dilakukan secara bertahap untuk memodernisasi infrastruktur, termasuk penambahan sistem sinyal otomatis, perbaikan komunikasi antarstasiun, dan peningkatan pelatihan keselamatan bagi masinis dan petugas stasiun.
Kementerian Perhubungan pun mulai menetapkan kebijakan yang lebih ketat dalam operasional kereta api dan melakukan peninjauan terhadap prosedur komunikasi serta pengaturan lalu lintas kereta. Di sisi lain, PT KAI terus berupaya meningkatkan sistem dan teknologi transportasi untuk memastikan kejadian serupa tidak terulang di masa depan.
Tragedi Bintaro 1987 menjadi pengingat akan konsekuensi dari kelemahan dalam sistem keselamatan transportasi. Pembaruan infrastruktur, sistem kontrol otomatis, dan penetapan standar operasional yang lebih ketat menjadi langkah konkret yang diambil sebagai respons terhadap tragedi ini. Hingga saat ini, upaya modernisasi dalam transportasi kereta api di Indonesia terus berjalan, demi memastikan keselamatan dan kenyamanan penumpang di masa depan
Editor : Mercurius